Kepemilikan Bahasa dan Manusia



Oleh : Karnoto
Bahasa adalah salah satu faktor mendasar yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa sebagai anugerah dari Sang Pencipta memungkinkan individu dapat hidup bersama dengan orang lain, membantu memecahkan masalah, dan memposisikan dirinya sebagai makhluk yang berbudaya.
Pada manusia bahasa yang merupakan suatu sistem simbol untuk berkomunikasi dengan orang lain, meliputi daya cipta dan sistem aturan. Dengan daya cipta tersebut manusia dapat menciptakan berbagai macam kalimat yang bermakna dengan menggunakan seperangkat kata dan aturan yang terbatas. Dengan demikian bahasa pada manusia merupakan upaya kreatif yang tidak pernah berhenti.
Berbagai ahli mengemukakan pendapat tentang kepemilikan manusia dalam bahasa. Berdasarkan penelitian mereka terhadap beberapa spesies hewan tertentu, diketahui bahwa banyak spesies hewan yang memiliki cara yang kompleks dan cerdas untuk memberi sinyal yang bahaya maupun mengkomunikasikan berbagai kebutuhan dasar mereka seperti makan dan berhubungan seks. Para ahli sepakat bahwa semua hewan dapat berkomunikasi satu sama lain dan beberapa spesies dapat dilatih untuk memanipulasi simbol-simbol yang mirip dengan bahasa. Namun demikian simbol-simbol tersebut jauh lebih rendah diabndingkan bahasa pada manusia. Penelitian para ahli tentang kemampuan berbahasa pada hewan seperti simpanse maupun gorila juga tidak membawa hasil yang signifikan. Para peneliti menjelaskan bahwa simpanse memahami bahasa tubuh, namun tidak memiliki kemampuan untuk mengekspresikan suara. Berdasarkan asumsi tersebut mereka menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi dengan hewan. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa simpanse dan gorila dapat memahami ratusan kosakata dengan menggunakan bahasa isyarat (Hayes, 1951; Linden, 1974; Patterson, 1978; dalam Biggs, 1985). Simpanse dan gorila selain dapat mengkomunikasikan kebutuhannya seperti makan dan minum, juga dapat menghubungkan alasan terjadinya perilaku tertentu dan memahami kejadian yang telah lalu dan yang sesudahnya. Penelitian terhadap bahasa yang digunakan antarsimpanse tidak membawa hasil sebaik yang dilakukan oleh manusia melalui bahasa isyarat. Dalam penelitian tersebut tidak ada simpanse yang dapat memahami lebih dari seratus kosakata. Terrace (dalam Dworetzky, 1984) mengadakan penelitian terhadap beberapa simpanse dan membuktikan bahwa simpanse-simpanse tersebut dapat memahami banyak kosakata, namun mereka tidak dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang orisinil. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut diasumsikan bahwa bahasa adalah alat komunikasi sosial bagi ras manusia bukan spesies lain.
Ada dua hal utama yang menjadi perdebatan para ahli tentang kemampuan simpanse untuk menggunakan bahasa. Pertama, berkenaan dengan pertanyaan tentang kemampuan simpanse memahami bahwa satu simbol mewakili makna tertentu. Kedua, adalah pertanyaan tentang kemampuan simpanse mempelajari sintaksis yang berkenaan dengan mekanisme dan ketentuan bahasa pada manusia.
Holzman (dalam Bromley, 1994) mengidentifikasikan tiga aspek yang membedakan bahasa manusia dan sistem isyarat pada hewan. Pertama, bahasa manusia bersifat produktif. Kedua, bahasa manusia terlepas dari konteks/situasi. Ketiga, manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi sedangkan hewan menggunakan isyarat untuk menginformasikan sesuatu.
Beberapa ahli telah membahas bahasa dan struktur bahasa dalam disiplin filsafat bahasa sekitar abad ke-18. Pada awalnya, ada beberapa pendapat yang berbeda tentang arti bahasa. Aliran sofisme memandang bahasa sebagai suatu perjanjian yang sifatnya disengaja antara masyarakat, sedangkan aliran stoijin memandang bahasa sebagai suatu kemampuan yang bersifat alamiah. Adapun para tokoh yang lain seperti Plato dan Aristoteles mengartikan bahasa sebagai interaksi antara kedua pendapat tersbut (Monks, Knoers, dan Haditono, 1984).
Dalam kaitanya dalam bahasa, Wundt berpendapat bahwa apa yang ada di dalam diri adalah sama dengan apa yang tampak di luar. Buhler berpandangan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi tidak terlepas dari konteks sosial. Sedangkan Chomsky (1959) menjelaskan bahwa untuk lebih memahami perkembangan bahasa seseorang perlu mempelajari perkembangan kognitifnya.
Karnoto, S.Pd. staf pengajar MA Wahid Hasyim Petarukan.
tanda tangan