Oleh:
Karnoto
Mengajar, inilah kata kunci yang sangat mempengaruhi keberhasilan
sebuah proses pendidikan dan mengajar pulalah yang mendapat kritik keras dari
Paulo Freire dengan model pembelajaran pasif, yakni guru menerangkan murid
mendengarkan, guru mendiktekan murid mencatat, guru bertanya murid menjawab,
dan seterusnya. Paulo Feire menyebutkan dengan pendidikan gaya bank yakni pendidikan model deposito,
guru sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan serta berbagai pengalamannya
pada siswa, siswa hanya menerima, mencatat, dan mem-file semua yang disampaikan guru. Pendidikan model bank tersebut
menurut Freire merupakan salah satu bentuk penindasan terhadap siswa-siswa
karena menghambat kreativitas dan pengembangan potensi mereka.
Pengajaran model itu terkadang juga disebut sebagai pendidikan gaya komando dan menurut
Muska Mosston gejala tersebut muncul dalam dekade 60-an sampai 70-an yang
menggembangkan prinsip distribusi sebuah keputusan harus dilakukan secara
hierarkis dari atas ke bawah, dari guru pada siswa (Mosston, 1972: 35). Dalam
pengajaran gaya
komando semua perencanaan ditentukan oleh guru disampaikan kepada siswa dan
siswa menerima pelajaran, mengubah perilaku sesuai dengan pelajaran baru. Akan
tetapi, mereka tidak terlibat dalam proses analisis untuk penerapan pengalaman
baru tersebut pada konteks kehidupan lain dan lebih jauh lagi mereka juga tidak
terlibat dalam pembahasan feed back
buat guru.
Pengajaran model gaya
komando ini menurut Mosston merupakan salah satu bentuk akhir polarisasi aliran
behaviourisme, yang kemudian
menperoleh kritik keras karena mematikan semangat demokratisasi dan mematikan
kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan kurang peduli terhadap keragaman
siswa (Mosston, 1972: 43). Oleh sebab itu, kemudian dikembangkan model task style, yakni belajar dengan
memperbanyak penugasan, yang disusul kemudian dengan model reciprocal style yakni belajar antara penugasan dan instructional, dan diikuti kemudian
dengan kemunculan berbagai model sampai kini muncul model collaborative and cooperative learning yang dikembangkan oleh
aliran psikologi developmental yang
menekankan pada aktivitas siswa dan dibantu oleh guru.
Di awal paruh ke-2 abad ke-20 ini mengajar masih diartikan sebagai
sebuah proses pemberian bimbingan dan memajukan kemampuan pembelajar siswa yang
semuanya dilakukan dengan berpusat pada siswa (Kochhar, 1967: 24). Mengajar
harus bertitik tolak dari kondisi siswa untuk diberi berbagai pengalaman baru
serta pemberian bimbingan untuk memperoleh berbagai pengalaman baru guna
mencapai berbagai kemajuan. Pandangan pedagogis dari ilmuwan pendidikan di awal
paruh ke-2 abad ke-20 sudah berkembang menuju model pendidikan yang berpusat
pada siswa, hanya saja keterlibatan dan peran guru dalam proses pengajaran
masih sangat besar. Itulah bagian-bagian yang kemudian dikritik oleh para
ilmuawan pendidikan di akhir abad ke-20 dengan memberi peluang yang
sebesar-besarnya pada siswa untuk belajar.
Dengan demikian, definisi terkini tentang mengajar sudah amat berbasis
pada siswa, guru hanya mengambil peran dalam perancangan untuk memberi peluang
pada siswa-siswanya mengembangkan aktivitas belajar serta mengeksplorasi
berbagai pengalaman baru untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya
dan telah menjadi kesepakatan-kesepakatan kelas bersama dengan gurunya.
Bersamaan dengan perkembangan dan kemajuan tersebut tempaknya paradigma behaviourisme sudah mulai dikritik
dengan dikembangkannya aliran constructivisme
sebagai pengembangan dari aliran psikologi kognitif (Kauchak, 1998: 6). Aliran behaviourisme memandang bahwa belajar
adalah mengubah perilaku siswa dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak
mengerti menjadi mengerti, dan tugas guru adalah mengontrol stimulus dan
lingkungan belajar agar perubahan mendekati tujuan yang diinginkan dan guru
pemberi hadiah atau hukuman pada siswa, yakni hadiah diberikan pada siswa yang
telah mampu memperlihatkan perubahan bermakna, sedangkan hukuman diberikan pada
siswa yang tidak memperlihatkan perubahan bermakna. Oleh sebab itu, aliran behaviouriseme meletakan proses reinforcement dalam posisi amat penting
bagi siswa untuk mencapai perubahan yang diinginkan.
Sedangkan aliran psikologi
kognitif memandang bahwa belajar adalah mengembangkan berbagai strategi
untuk mencatat dan memperoleh berbagai
informasi, siswa harus aktif menemukan informasi-informasi tersebut dan
guru bukan mengontrol stimulus tetapi menjadi partner siswa dalam proses
penemuan berbagai informsi dan makna-makna dari informasi yang diperolehnya
dalam pelajaran yang mereka bahas dan kaji bersama. Aliran constructivisme yang dikembangan dari psikologi kognitif ini
menekankan teorinya bahwa siswa amat berperan dalam menemukan ilmu baru. Constructivisme adalah aliran yang
mengembangkan pandangan tentang belajar yang menekankan pada empat komponen
kunci, yaitu: (1) siswa membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka
belajar bukan karena disampaikan pada mereka, (2) pelajaran baru sangat
tergantung pada pelajaran sebelumnya, (3) belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi
sosial, dan (4) penugasan-penugasan dalam balajar dapat meningkatkan
kebermaknaan proses pembelajaran.
Pengembangan berbagai model mengajar sampai pada pelibatan dan
pemberian kesempatan siswa untuk melakukan eksplorasi keilmuan ini, menurut
Jerry Aldridge dan Renitta Goldman disebabkan oleh perubahan-perubahan worldviews pada anak dan mempengaruhi
proses pembelajaran. Dalam pendidikan dikenal tiga worldviews yakni aliran organis,
mekanis, dan kontekstualis.
Aliran organis menekankan teorinya bahwa dalam belajar itu harus lebih memberi
kesempatan pada siswa untuk aktif, karena itulah yang menjadi tuntutan
naturalnya dan lingkungan pasif. Sementara aliran mekanis menekankan lingkungan
aktif dan anak-anak pasif. Kedua aliran ini sejak tiga dekade terakhir ini
dikritik dan para peneliti pendidikan melihat aliran kontekstualis lebih
relevan untuk dikembangkan sebagai basis teori dalam mengajar, yakni aliran
yang menekankan interaktif antara siswa dengan lingkungan belajarnya, antara
siswa dengan gurunya dengan penilaian yang seimbang antara kualitatif dengan
kuantitatif.
Bahkan menurut Jerry Aldridge dan Renitta Goldman lebih lanjut,
sejak 25 tahun terakhir guru-guru (di banyak tempat di sekolah-sekolah di
Amerika) melakukan transaksi kurikulum dengan para siswanya, yakni guru
menawarkan berbagai kompetensi pada siswa-siswanya dan siswa memilih serta
menetukan sendiri apa yang mereka pelajari dengan gurunya itu. Implikasi dari
transaksi tersebut adalah kajian dari siswa di antara sesama mereka untuk menentukan
berbagai bahan materi pelajaran yang akan merekan pelajari dalam satu masa
tertentu. Inilah yang oleh Aldridge disebut sebagai curriculum as transaction and curriculum as inquiry (Aldridge,
2002: 77).
Dengan memperbesar peluang pada siswa untuk terlibat dalam penetapan
proses pembelajaran maka perencanaan strategi pembelajaran yang sudah dirancang
sebelum proses pembelajaran tersebut dimulai, tidak menjadi jaminan sebagai
sebuah perencanaan yang fix, karena
akan sangat dipengaruhi oleh berbagai variabel yang terjadi di lapangan. Oleh
sebab itu, Hunt dan Moore
mendorong konsep reflective teaching
dari Donald Cruickshank yang mengangkat teori bahwa guru harus merancang
strategi sebelum dan dalam proses pembelajaran. Rancangan strategi sebelum
proses pembelajaran harus memerhatikan pengalaman-pengalaman interaksi guru
dengan siswa dalam pelajaran yang sama, kelas yang sama dan jam yang sama.
Sedangkan rancangan dalam proses
pembelajaran harus memerhatikan kondisi aktual dan kenyataan riil dari
siswa saat proses pembelajaran itu berjalan. Strategi harus disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan siswa yang sangat dipengaruhi oleh tingkat penugasan bahan
ajar, emosi, citra diri dan harga diri yang selalu ingin dijunjung tinggi.
Interactive learning, akhirnya akan memberi stimulus bagi guru untuk merefleksikan
berbagai pengalamannya dengan siswa untuk peningkatan kualitas proses
pembelajaran ke depan, dengan memperbaiki berbagai perencanaannya. Demikian
pula dengan siswa, mereka dapat melakukan refleksi tentang berbagai pengalaman
yang diperolehnya melalui proses pembelajaran dengan guru dan teman sebayanya. Reflective teaching kemudian menjadi
bagian dari proses peningkatan kualitas design
pembelajaran dari guru, yang juga diimbangi dengan proses reflective thinking bagi siswa, sebagaiman dikembangkan Dewey di
awal abad ke-20 sehingga proses pembelajaran akan meningkat yang secar otomatis
akan meningkatkan pula kualitas hasil belajar siswa.
Rumusan ini cukup relevan untuk dirujuk dan dikembangkan karena
bersifat umum dan mendasar, yakni memuat unsur perubahan perilaku sebagai
artikulasi landasan behaviourisme-nya
dan dalam konteks pendidikan demokratis ini akan lebih diarahkan pada inisiasi
siswa sendiri yang didampingi oleh guru sebagai pembimbing dan fasilator siswa untuk
belajar. Dengan demikian cukup adaptatif untuk diposisikan sebagai artikulasi
teori constructivisme yang menekankan
pada pola pembelajaran interaktif. Namun secara umum, sebagaimana Kochhar
nyatakan bahwa belajar tersebut akan sukses jika memenuhi dua persyaratan,
yaitu: (1) belajar merupakan sebuah kegiatan yang dibutuhkan oleh siswa, yakni
siswa merasa perlu akan belajar. Semakin kuat keinginan siswa untuk belajar
maka akan semakin tinggi tingkat keberhasilannya; dan (2) ada kesipan untuk
belajar, yakni kesiap siswa untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru baik
pengetahuan maupun keterampilan. Dalam mata pelajaran apapun, apakah mata
pelajaran akademik, olah raga, bahkan keterampilan membuthkan kesiapan untuk
belajar. Kalau kesiapan belajarnya tinggi maka hasil belajarnya pun akan baik
dan sebaliknya jika kesiapannya lemah maka hasilnya pun akan lemah pula.
Untuk menjadi warga yang cerdas, setiap anak harus dididik dibina
agar memiliki berbagai keahlian, skill
dan keterampilan sesuai dengan talenta dan kemampuan yang mereka miliki.
Gagasan besar tersebut sangat mudah diucapkan namun sukar untuk dirumuskan
secara definitif untuk mencoba menyusun langkah-langkah yang akurat menuju
ide-ide tersebut. Kemudian untuk menjadi bangsa yang tangguh, kuat, dan
memiliki kemampuan kompetitif serta memiliki berbagai keunggulan komparatif,
pendidikan harus mampu melahirkan SDM yang tidak saja memiliki kecerdasan ganda
tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Donald P. Kauchak
menyebutnya dengan pendidikan yang menghasilkan outcome dengan level tertinggi yang memiliki tiga kemampuan, yaitu
kemampuan menyelesaikan masalah, berpikir kritis, dan mampu melakukan
penyelesaian masalah berbasis data melalui penelitian inquiry. Sementara kenneth D. Moore menawarkan dua kompetensi di
atas enam level kognitif, yaitu pengembangan kemampuan critical thinking dan creative
thinking, yang keduanya menurut Moore tidak
berhubungan secara signifikan dengan tingkat intelegensia mereka (Moore, 2001: 113). Anak
cerdas belum tentu kreatif dan begitu pula sebaliknya. Kemampuan berpikir
kritis bisa dikembangkan dan begitu pula kreativitas serta berpikir kreatif
bisa dikembangkan, yang keduanya tidak terjangkau dalam tahapan kognitif Bloom.
Tawaran-tawaran tersebut sangat rasional yakni mengembangkan
kemampuan siswa dengan pembiasaan berpikir kritis untuk membiasakan meneliti
sebuah masalah dan menganalisis berbagai solusi untuk menyelesaikan masalah
tersebut dengan berbasis pada teori-teori yang rasional. Kemudian mereka juga
dilatih untuk berpikir kritis dan kreatif. Dan bisa dimulai di jenjang sekolah
menengah dengan melatih mereka dari masalah-masalah sederhana yang ada di
sekelilingnya.
Karnoto, S.Pd. pengajar Bahasa Indonesia di MA Wahid Hasyim Petarukan.