Oleh
: Karnoto
Salah satu tokoh pendidikan nasional yang memberikan kontribusi
terhadap perkembangan pendidikan di tanah air adalah Ki Hadjar Dewantoro. Ki
Hadjar Dewantoro mengawali pikiran-pikiran tentang pendidikannya dengan
menekankan bahwa pendidikan yang terjadi pada masa itu tidak cukup memberikan
ruang gerak kepada peserta didik untuk berkembang dan dipengaruhi oleh
muatan-muatan politik kolonialisme. Pikran-pikiran Ki Hadjar Dewantoro sampai
saat ini masih relevan untuk diterapkan sebagai salah satu pikiran pendidikan
yang berasal dari dalam negeri. Dengan pengalaman dan analisis kritis terhadap
pendidikan barat, Ki Hadjar Dewantoro memberikan pendekatan alternatif dalam
pendidikan. Pendidikan ala Barat yang oleh Ki Hadjar Dewantoro dipandang hanya
melahirkan kaum intelektual tetapi tidak memiliki nilai-nilai luhur yang
berkembang di masyarakat, sehingga kualitas sumber daya manusia bukan manusia
seutuhnya.
Pendidikan adalah upaya untuk memerdekakan manusia dalam arti bahwa
menjadi manusia yang mandiri, agar tidak tergantung kepada orang lain baik
lahir maupun batin. Kemerdekaan yang dimaksud terdiri dari tiga macam, yaitu;
berdiri sendiri, tidak tergantung orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri.
Pendidikan merupakan hak semua warga negara, tidak membedakan jenis kelamin
(laki-laki dan perempuan). Pendidikan nasional menurut Ki Hadjar Dewantoro
adalah pendidikan yang selaras dengan pendidikan bangsa. Kalau pendidikan bagi
anak-anak tidak berdasarkan kenasionalan, sudah tentu anak-anak kita tidak akan
mengetahui keperluan kita, lahir maupun batin; di samping itu anak-anak tidak
mungkin memiliki rasa cinta terhadap bangsa dan negara.
Salah satu pikiran Ki Hadjar Dewantoro tentang pendidikan diwujudkan
dalam bentuk Taman Siswa. Taman Siswa merupakan badan perguruan yang sudah
diselaraskan dengan kepentingan dan keperluan rakyat, di samping itu rakyat
diberikan kesempatan untuk memberikan kontribusi terhadap lembaga tersebut.
Dalam rangka meningkatkan kerja sama perjuangan bangsa, Taman Siswa juga
melakukan hubungan dengan pergerakan rakyat lainnya, misalnya dengan Pergerakan
Budi Utomo.
Lahirnya pendidikan Taman Siswa juga diilhami oleh model pendidikan
barat yang tidak menyelesaikan persoalan peningkatan kualitas sumber daya
manusia waktu itu. Menurutnya, pendidikan barat memiliki ciri; perintah,
hukuman dan ketertiban. Model pendekatan pendidikan seperti itu menurut Ki
Hadjar Dewantoro merupakan salah satu perkosaan terhadap kehidupan batin anak-anak.
Oleh karena itu, tidak heran apabila hasil pendidikan barat melahirkan anak
dengan budi pekerti yang rusak sebagai akibat dari anak yang hidup di bawah
paksaan dan hukuman, yang biasanya tidak setimpal dengan kesalahannya. Apabila
telah dewasa, mereka tidak akan mampu bekerja kalau tidak dipaksa atau kalau
tidak ada perintah.
Pendidikan pada taman siswa tidak menggunakan pendekatan paksaan.
Dasar pendidikan yang digunakan adalah Momong,
Among, dan Ngemong. Dalam hal ini
tidak ada palaksanaan terhadap anak didik, tetapi lebih kepada membimbing dan
memimpin meskipun dalam hal-hal tertentu peran tersebut juga tidak diperlukan.
Anak didik untuk berkembang sesuai dengan kodratnya, sehingga peran guru
sebagai pendamping dan orang yang membantu mengarahkan siswa sesuai dengan
perkembangannya.
Hukuman yang dilakukan sekolah pada umumnya adalah untuk mencegah
terjadinya perbuatan yang salah pada anak didik, misalnya: Barang siapa datang
terlambat tentu akan mendapatkan hukuman berdiri di muka kelas. Menurut Ki Hadjar
Dewantoro, hukuman semacam itu tidak tepat. Pertama karena tidak setimpalnya
hukuman dengan kesalahan yang dilakukan anak didik, kedua, tiap-tiap aturan
yang mendahului kenyataannya bertentangan sifatnya dengan roh manusia yang
tidak dapat dimasukkan ke dalam peraturan. Dia mencontohkan bahwa untuk
mengatur ketertiban pergaulan hidup manusia, sudah ada bermacam-macam
peraturan, tetapi setiap hari orang selalu membuat aturan baru. Hal ini
membuktikan bahwa setiap peraturan tidak ada yang sempurna.
Beberapa falsafah yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantoro
berkenaan dengan pendidikan: (1) segala alat, usaha dan juga cara pendidikan
harus sesuai dengan kodratnya; (2) kodratnya itu tersimpan dalam adat-istiadat
setiap masyarakat dengan berbagai kekhasan, yang kesemuanya itu bertujuan untuk
mencapai hidup tertib dan damai; (3) adat istiadat sifatnya selalu berubah
(dinamis); (4) untuk mengetahui karakteristik masyarakat saat ini diperlukan
kajian mendalam tentang kehidupan masyarakat tersebut di masa lampau, sehingga
dapat diprediksi kehidupan yang akan datang pada masyarakat tersebut; dan (5)
perkembangan budaya masyarakat akan dipengaruhi oleh unsur-unsur lain, hal ini
terjadi karena terjadinya pergaulan antarbangsa.
Pendidikan nasional menurut Taman Siswa adalah pendidikan yang
beralaskan garis hidup dari biasanya dan ditunjukkan untuk keperluan
perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat
bekerja bersama-sama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia di
seluruh dunia.
Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantoro (1930) adalah tuntutan di
dalam tubuh dan berkembangnya anak-anak. Maksud pendidikan adalah menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya. Beberapa kata penting yang digarisbawahi Ki Hadjar
Dewantoro, bahwa pendidikan itu hanya tuntutan, di dalam tubuh dan
berkembangnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak guru/pendidik.
Penerapannya
Pendidikan secara umum berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan
tubuh anak. Dalam pengertian ini mengandung makna bahwa pendidikan pada Taman
Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan, tetapi sebagai suatu kesatuan untuk
memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang
kita didik selaras dengan dunianya.
Kebudayaan merupakan dasar dari praksis pendidikan, maka bukan saja
seluruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan nasional, tetapi juga seluruh
unsur kebudayaan harus diperkenalkan dalam proses pendidikan. Hal ini berarti
kesenian, budi pekerti, syarat-syarat agama (nilai-nilai agama), sastra
(dongeng, babat, cerita-cerita rakyat dan sebagainya), juga pendidikan jasmani.
Program pendidikan yang komprehensif tersebut menuntut suatu suasana pendidikan
berbudaya yang hanya dapat diwujudkan secara efektif di dalam sistem pondok.
Sistem pondok merupakan sarana untuk mempersatukan pendidikan ilmu
pengetahuan dengan pendidikan budi pekerti serta nilai-nilai budaya lainnya.
Sistem ini menurut Ki Hadjar Dewantoro bukan asing di dalam sejarah pendidikan
kita yang telah mengenal sistem asrama yang kemudian menjadi pondok pesantren.
Sudah tentu pelaksanaan sistem pondok di dalam pengertian adanya sarana-sarana
fisik tentunya akan meminta biaya yang cukup besar. Namun demikian, pelaksanaan
sistem pondok juga dapat berarti mengembangkan kondisi dan suasana ke pondokkan
di dalam praksis pendidikan. Khusus untuk pendidikan guru sistem pondok
tersebut mungkin merupakan suatu tuntutan. Dengan sistem tersebut pada calon
pendidik akan dapat menghayati dan kelak dapat melaksanakan prinsip-prinsip
kebudayaan di dalam praksis pendidikan. Para
guru profesional masa depan menuntut kesatuan di dalam kepribadiannya bukan
hanya menguasai ilmu pengetahuan dan bagaimana mentransfer ilmu pengetahuan
kepada peserta didik, tetapi juga para guru tersebut merupakan resi modern
yaitu seorang intelektual, profesional, dan pemimpin yang perlu dan dapat
digugu.
Karnoto, S.Pd. staf
pengajar MA Wahid Hasyim Petarukan dan SMK Tunas Karya Comal.