Mengelola Stres dalam Pekerjaan



Oleh : Karnoto
Pengelolaan stres disebut juga dengan istilah coping. Menurut R. S. Lazarus dan Folkman (Taylor, 2003:219), coping adalah proses mengelola tuntutan (internal atau eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena di luar kemampuan diri individu. Coping terdiri atas upaya-upaya yang berorientasi kegiatan dan intrapsikis untuk mengelola (seperti menuntaskan, tabah, mengurangi, atau meminimalkan) tuntutan internal dan eksternal dan konflik diantaranya. Sementara Weiten dan Lloyd mengemukakan bahwa coping merupakan upaya-upaya untuk mengatasi, mengurangi, atau menoleransi ancaman dan beban perasaan yang tercipta karena stres.
Faktor-faktor yang mempengaruhi coping sebagai upaya untuk mereduksi atau mengatasi stres dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu dukungan sosial dan kepribadian. Lingkungan sosial, terutama orang yang dekat (orang tua, suami/istri, teman) mempunyai pengaruh yang kuat terhadap keberhasilan seseorang dalam mengelola stres. Dari lingkungan sosial, klien akan memperoleh dukungan emosi, bantuan penilaian terhadap masalah yang sedang dihadapi, cara mengatasi masalah dan juga dukungan yang bersifat material.
Di samping faktor sosial, karakteristik kepribadian seseoarang juga mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap keberhasilan seseorang dalam menghadapi stres. Orang yang selalu tabah menghadapi cobaan, selalu optimis menghadapi masa depan dan memiliki sifat humoris akan lebih cepat berhasil dalam menghadapi stres dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut.
Kiat-kiat Mengelola Stres
Carver, Scheier, dan Weintraub (Weiten dan Lloyd, 1984; Shelly E. Taylor, 2003) mengembangkan instrumen pengukuran yang disebut “the Cope” yang mengidentifikasi 14 strategi, respon atau kategori coping (dengan alternatif jawaban: Tidak Pernah, Jarang, Sering, dan Selalu).
Pendapat Carver tersebut menunjukkan bahwa coping terhadap stres itu ada yang positif atau konstruktif dan ada juga yang negatif. Menurut Weiten dan Lloyd di antara coping yang negatif itu adalah (1) Giving up (withdraw), melarikan diri dari kenyataan atau situasi stres, yang bentuknya seperti sikap apatis, kehilangan semangat atau perasaan tak berdaya, dan meminum minuman keras atau mengonsumsi obat-obat terlarang; (2) agresif, yaitu berbagai perilaku yang ditunjukkan untuk menyakiti orang lain, baik secara verbal maupun non-verbal; (3) memanjakan diri sendiri (indulging your self), dengan berperilaku lonsumerisme yang berlebihan, seperti makan yang enak-enak, merokok, meminum minuman keras, menghabiskan uang untuk berbelanja; (4) mencela diri sendiri (blaming your self), yaitu mencela atau menilai negatif terhadap diri sendiri, sebagai respon terhadap frustasi atau kegagalan dalam memperoleh sesuatu yang diinginkan; (5) mekanisme pertahan diri (defence mechanism), yang bentuknya seperti: (a) menolak kenyataan dengan cara melindungi diri dari suatu kenyataan yang tidak menyenangkan (seorang perokok mengatakan bahwa rokok merusak kesehatan hanya teori belaka), (b) berfantasi, (c) intelektualisasi (rasionalisasi), dan (d) overcompensation.
Sementara coping yang konstruktif diartikan sebagai upaya-upaya untuk menghadapi situasi stres secara sehat. Coping yang konstruktif ini memiliki ciri-ciri: (a) menghadapi masalah secara langsung, mengevaluasi alternatif secara rasional dalam upaya memecahkan masalah tersebut; (b) menilai atau mempersepsi situasi stres didasarkan kepada pertimbangan yang rasional; dan (c) mengendalikan diri (self-control) dalam mengatasi masalah yang dihadapi.
Coping yang konstruktif dapat diatasi dengan beberapa pendekatan, seperti: terapi rasional emosi, meditasi, relaksasi dan mengamalkan ajaran agama. Orang yang sedang terkena stres biasanya tidak dapat berpikir rasional. Oleh karena itu, melalui terapi rasional, klien akan terbimbing agar dapat berpikir lebih rasional. Melalui meditasi, energi, kesehatan, dan hubungan interpersonal seseorang dapat ditingkatkan. Kekalutan pikiran dan menurunnya gangguan fisik dapat diatasi dengan relaksasi. Tidak kalah penting pula bahwa sifat pasrah dan tawakal juga dapat mengurangi stres. Sifat pasrah dan tawakal ini dapat diperoleh dari pengamalan terhadap ajaran agama.
Terkait dengan upaya mencegah atau mengatasi stres dengan shalat (tetapi bukan berarti shalat sebagai obat stres), dalam Alquran surat Al-Ma’arij: 19-22 difirmankan: “Innal insaana khuliqa haluu’aa, idzaa massahusysyarru jazuu’aa, waidzaa massahul khairu manuu’aa, illall mushallin” (Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah, apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapatkan kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang menegakkan shalat).
Karnoto, staf pengajar di MA Wahid Hasyim Petarukan dan SMK Tunas Karya Comal.
tanda tangan